Pendidikan adalah sebuah sarana paling tepat untuk mengembangkan sebuah nilai akan budaya, orang yang terdidik akan dengan mudah untuk mempelajari sebuah konsep akan budaya. Gandrung, yang merupakan sebuah kesenian yang sudah mendapatkan pengakuan nasional maupun internasional perlu dikenalkan dan dikembangkan di
Gandrung Banyuwangi |
lingkup sekolah sebagai upaya menanamkan rasa bangga dan cinta akan budaya local terhadap para siswa. Dengan ini diharapkan akan timbul sebuah rasa dan apresiasi yang tinggi serta membuat ketertarikan akan kesenian gandrung itu sendiri. Ini bisa dilakukan dengan memberikan mata pelajaran muatan local daerah, yakni gandrung sebagai mata pelajaran tambahan atau dengan memberikan ruang waktu agar gandrung bisa dipelajari lewat program ekstra kurikuler diluar jam pelajaran sekolah. Program ekstra kurikuler ini wajib ada di tiap sekolah yang ada di Banyuwangi bahkan tidak menutup kemungkinan juga diterapkan di Perguuruan Tinggi.
Dengan adanya program mata pelajaran dan ektrakurikuler gandrung, maka bukan tidak mungkin kesenian gandrung akan lebih dikenal dan eksistensinya tetap akan terjaga mengingat dunia pendidikan adalah dunia yang tidak akan pernah mati. Adanya sebuah kompetisi berupa perlombaan dan semacamnya tentang gandrung antar sekolah akan menambah minat dan antusias siswa dalam mengenal dan mempelajari gandrung. Sehingga para siswa akan berlomba dan bersaing untuk menjadi penari gandrung terbaik untuk menunjukkan dirinya layak menjadi duta sekolah dalam perlombaan tari gandrung.
Pelestarian Gandrung bisa dilakukan melalui pendidikan di sekolah-sekolah, dengan cara mereduksi Gandrung menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah. Guru mata pelajaran seni budaya dapat menyajikan pembelajaran seni Gandrung melalui proses pembelajaran apresiasi seni tradisi melalui seni rupa, seni tari, seni musik, dan seni teater.
Sekolah bisa menyelenggarakan program pentas Gandrung dalam kegiatan di sekolah. Pemerintah dan lembaga yang terkait dapat menyelenggarakan lomba menulis tentang Gandrung, lomba menggambar dan melukis Gandrung, pameran, pergelaran, sarasehan, dan apresiasi Gandrung di sekolah dan di lingkungan masyarakat, serta kegiatan-kegiatan kreatif dan inovatif lain yang bertujuan melestarikan kesenian Gandrung. Akhirnya Gandrung tidak usah dan tidak perlu dibandingkan dengan acara TV yang tidak jelas. Itu kalau kita tidak ingin dikatakan sebagai orang yang mempunyai tingkat apresiasi rendah terhadap kebudayaan dan kesenian kita sendiri.
Dari Segi Ekonomi
Gandrung modern merupakan bentuk gandrung yang sudah berubah bentuk dari kesenian tradisional yang berorientasi kepada tradisi dan adat menjadi gandrung yang berorientasi pada materi atau ekonomi. Hal ini memang wajar mengingat kesenian gandrung juga merupakan tontonan hiburan yang dapat dijadikan tempat rekreasi pikiran. Selain itu, penari gandrung untuk menampilkan kesenian gandrung, kelompok kesenian gandrung memelukan biaya yang tidak sedikit untuk transportasi, pengadaan dan perawatan kostum dan alat musik, sampai biaya makan dan pengganti waktu yang terbuang. Oleh karena itu sudah sepantasnya apabila penampilan kelompok kesenian gandrung harus diganti dengan pamrih dalam bentuk materi.
Ibu Wiwik Sumartin menceritakan bahwa biasanya gandrung tampil diacara hajatan masyarakat desa. Untuk tarif biasanya sebesar Rp.500.000,- yang dibagi untuk semua penari dan pemusik. Tarif sekecil itulah yang dapat dibayar oleh penonton untuk kreatifitas dan loyalitas pelaku kesenian gandrung Banyuwangi. Sudah sepantasnya apabila kemudian kesenian gandrung menjadi kesenian langka dan kelompok gandrung banyak yang bubar. Pada tahun 1990an termasuk sebelum tahun 1990 gandrung merupakan bagian kelompok kesenian gandrung yang dibayar oleh ketua perkumpulan atau kelompok gandrung. Namun dimulai sekitar pertengahan tahun 1997 gandrung banyak tampil sendiri atau sekelompok tari yang nantinya mengajak beberapa pemusik yang nantinya dibayar oleh sang gandrung. Sedangkan perkumpulan atau kelompok kesenian gandrung sudah banyak yang bubar pada tahun 1995 (Wawancara 12 Agustus 2007).
Pada periode tahun 1997 – 2001 kesenian gandrung sedikit diarahkan menuju perusahaan rekaman. Hal ini dimaksudkan agar kesenian gandrung tetap lestari mengingat pada periode ini terjadi dua peristiwa penting di Banyuwangi yaitu :
a. Terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan yang menyebabkan hampir tidak ada masyarakat mau mengundang pertunjukan kesenian gandrung karena faktor biaya, padahal kelompok kesenian gandrung sangat membutuhkan materi atau biaya minimal untuk biaya perawatan alat dan kostum. Itupun selain biaya hidup para pemain dan pemusik gandrung sendiri.
b. Terjadinya krisis sosial dengan merebaknya isu santet yang menjadikan gandrung selalu ragu-ragu untuk tampil dalam suatu pergelaran gandrung. Hal ini terkait dengan ijin pihak berwajib yang sangat sulit karena takut jikalau kesenian gandrung nantinya ditumpangi kepentingan golongan-golongan tertentu (Suyanto, 2004 :24).
Secara garis besar perkembangan gandrung dari segi ekonomi tampak dari perubahan pola pembayaran gandrung dari ketua kelompok sentries menjadi gandrung sentries, dimana pada tahun ini gandrung selain sebagai penari juga bertindak sebagai pelaksana pementasan kesenian gandrung. Dengan system ini, para penari gandrung berlomba-lomba untuk menampilkan tari gandrung terbaiknya agar dapat disukai dan diminati masyarakat yang pada akhirnya berujung pada permintaan tampil.
Pendapatan gandrung pada periode 1997 – 2008 sangat merosot tajam. Memang kalau dilihat dari jumlah atau besar tarif gandrung meningkat. Tetapi keadaan masyarakat yang terkena dampak krisis ekonomi dan krisis sosial menjadikan gandrung sangat jarang tampil dan mendapat tawaran menari (Endro Wilis 2002 : 24).
Pola pikir masyarakat yang semakin berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan mengarah ke pola pikir praktis efektif, membawa pengaruh terhadap perkembangan kesenian gandrung. Ketetapan Bupati Banyuwangi yaitu bapak Samsul Hadi yang menjadikan gandrung sebagai maskot Banyuwangi secara garis besar dapat mengangkat status kesenian gandrung menjadi lebih baik. Ibu Wiwik Sumartin selaku penari gandrung menyebutkan bahwa mulai tahun 2002 sampai sekarang kesenian gandrung dapat dijadikan sebagai salah satu mata mencaharian keluarganya karena honor penari gandrung tahun 2002 sampai sekarang mengalami peningkatan hampir empat kali lipat. Sebelum tahun 2002 honornya hanya mencapai limaratus ribuan yang dibagi untuk penari gandrung dan pemusik. Sejak tahun 2002 penari gandrung menari sendiri atau berkelompok dengan mendapatkan honor sebesar delapan ratus ribu sampai satu setengah juta rupiah yang dibagi untuk semua pemain. (Wawancara 12 Agustus 2007). Penari gandrung terob dalam sekali penampilannya mendapatkan bayaran sebesar satu juta rupiah. Rp. 800. 000,- digunakan untuk membayar empat penari gandrung, Rp. 75.000,- digunakan untuk kas dan sisanya digunakan untuk pemusik dan transportasi (Hasan Basri, Wawancara 8 Oktober 2007).
Dari segi perekonomian individu penari gandrung, kesenian gandrung memberikan sumbangan lebih bagi kebutuhan sehari-hari mereka. Namun tahun 2005 sampai 2007 ini kesenian gandrung menjadi sangat jarang tampil. Kalau dalam tahun 2002 – 2004 dalam satu bulan gandrung dapat tampil lima kali sampai tujuh kali tetapi sekarang mulai tahun 2005, dalam sebulan gandrung hanya tampil dua sampai tiga kali (Srintil 12, 2007 : 56).
Dari segi perekonomian umum daerah Banyuwangi, kesenian gandrung kurang memberikan kontribusi yang cukup. Hal ini dikarenakan sebagai bentuk kesenian yang kembali diminati masyarakat sejak tahun 2002, gandrung masih memerlukan waktu untuk mengenalkan kembali tari gandrung bagi masarakat umum. Selain itu program pemasyarakatan gandrung ini justru membutuhkan pembiayaan dari daerah untuk tiap pementasan, utamanya yang dilakukan diluar daerah.
Dalam proyek pembuatan patung gandrung setinggi 18 meter di wilayah Watu Dodol yang membutuhkan dana sebesar 2,5 milyar rupiah misalnya, banyak fraksi dalam DPRD Banyuwangi yang menolak pembangunan patung gandrung karena dinilai sebagai pemborosan. Namun dengan mempertimbangkan aspek pariwisata patung gandrung jadi berdiri (Novi Anoegrajekti, 2007 :72).
Dalam hal ini perlu adanya sebuah upaya bagaimana agar gandrung juga memiliki nilai jual/ekonomis yang tinggi, karena sebuah budaya yang murah menandakan masyarakatnya sama sekali tidak menghargai budaya. Adanya subsidi anggaran pemerintah untuk menopang kelestarian kesenian gandrung akan berdampak signifikan, karena para pemilik gandrung tidak perlu mematok harga yang terlalu tinggi kepada konsumen mengingat sudah ada subsidi dari pemerintah untuk sanggar gandrung tersebut. Bagaimanapun gandrung harus tetap dipertahankan sebagai sebuah budaya dan kesenian local yang memiliki nilai estetis dan profit yang memberikan kepuasan bagi kita semua.
Dari Segi Budaya
Sebagian besar penduduk di Banyuwangi adalah petani dengan luas area persawahan sebesar 66.553 hektar. Hasil utama pertanian di Banyuwangi adalah padi yaitu mencapai 633.169 ton per tahun (Rhitaoni, 2007 :36). Bapak Fatrah Abbal menyebutkan bahwa lingkungan alam pedesaan yang agraris itulah yang melahirkan gandrung Banyuwangi. Hal ini terlepas dari asal-usul gandrung Banyuwangi yang masih membingungkan, sebenarnya kesenian gandrung merupakan suatu wujud tarian terima kasih para masyarakat desa kepada dewi padi atau dewi Sri karena telah melimpahkan hasil panen yang melimpah.
Gandrung inilah yang akhirnya terus berkembang dan menjadi dasar dari semua kesenian daerah asli Banyuwangi. (Wawancara 12 Agustus 2007). Tari gandrung merupakan tari yang berhubungan dengan adapt istiadat yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat. Kepercayaan ini menjadikan gandrung selalu tampil dalam ritual-ritual adapt seperti larungan, petik laut, selamatan dan menerima tamu kabupaten (I Wayan Dibia, 2006 : 257).
Pada jaman dahulu sampai tahun akhir tahun 2001 atau sampai penetapan gandrung sebagai maskot Banyuwangi seorang penari gandrung yang tergabung dalam kelompok kesenian gandrung banyak hidup sendiri dan kurang disukai oleh masyarakat. Citra gandrung di era 60 – 90an masih sangat erat melekat dalam diri gandrung. Dijadikannya gandrung sebagai prostisusi terselubung oleh sekelompok orang semakin menyudutkan posisi gandrung. Selain itu juga banyak penari gandrung yang menjadi simpanan pejabat dari pejabat tingkat desa sampai kabupaten. Noda itulah yang mencemari citra gandrung, padahal tidak semua penari gandrung berbuat buruk (Dedy Luthan, 1990 : 19).
Perkembangan budaya dalam lingkup gandrung pada periode 2002 – 2006 mengarah pada budaya yang praktis dan instant. Hal ini tampak dengan digantinya instrument gandrung asli menjadi keping VCD atau DVD dan hilangnya kepercayaan magis yang dulu berkembang dalam kesenian gandrung.
Menurut Wiwik Sumartin dan Sudarti yang merupakan gandrung senior di Banyuwangi, kesakralan kesenian gandrung dari tahun ketahun semakin memudar. Tari gandrung yang diyakini mempunyai pertalian erat dengan tari seblang Bakungan menjadi tarian biasa yang tidak memerlukan ritual tertentu. Padahal pada jaman dahulu sampai tahun 2000-an seorang penari gandrung apabila mau melakukan suatu pertunjukan maka terlebih dahulu melakukan ritual-ritual khusus seperti, Puasa putih 1 – 3 hari. Nyekar di makam almarhum Semi sebagai pemrakarsa gandrung perempuan pertama. Melakukan ritual ringan yang lain seperti berdoa bersama dan luluran menggunakan syarat-syarat tertentu.
Dimasa sekarang, khususnya semenjak tahun 2004 sampai sekarang ritual-ritual mistis sedikit-demi sedikit mulai dikurangi dan akhirnya ditinggalkan. Seorang penari gandrung sebelum tampil hanya memerlukan merias diri sederhana tanpa ritual-ritual khusus yang mengikat. Hal ini akibat dari perkembangan gandrung kearah modernisasi yang dapat masuk ke sekolah-sekolah dan sanggar-sanggar tari bukan melalui perkumpulan kesenian gandrung.
Gandrung di jaman sekarang marupakan tarian umum yang dapat dipelajari siapa saja dan dimana saja dengan mudah. Hal ini berbeda dengan dahulu dimana gandrung sangat sulit dipelajari. Hal ini dikarenakan selain sema orang tua melarang anaknya menari gandrung juga karena fasilitas yang tersedia untuk belajar gandrung sangat terbatas. Orang hanya dapat belajar menari gandrung di sanggar tari atau kelompok kesenian gandrung dengan peralatan asli yang dibunyikan oleh pemusik gandrung. Kebanyakan pemusik hanya mau menabuh gamelannya dalam pertunjukan saja, bukan untuk melatih tari. Hal ini menjadikan peminat penari gandrung sangat sedikit kalaupun ada peminat gandrung adalah keluarga dekat gandrung atau anaknya. Oleh karena itu kebanyakan pewarisan kesenian gandrung melalui keturunan.
Pada jaman dahulu sampai tahun 2002 seorang penari gandrung yang tergabung dalam kelompok kesenian gandrung banyak hidup sendiri dan kurang disukai oleh masyarakat. Citra gandrung di era 60 – 90an masih sangat erat melekat dalam diri gandrung. Dijadikannya gandrung sebagai prostisusi terselubung oleh sekelompok orang semakin menyudutkan posisi gandrung. Selain itu juga banyak penari gandrung yang menjadi simpanan pejabat dari pejabat tingkat desa sampai kabupaten. Noda itulah yang mencemari citra gandrung, padahal tidak semua penari gandrung berbuat buruk.
Proses pertentangan budaya gandrung dengan budaya islam terjadi dalam berbagai kesempatan. Dalam tahun 1996 sempat terjadi kontak sosial masyarakat yang menolak pembangunan patung gandrung di depan pelabuhan ketapang Banyuwangi tepatnya di sebrang jalan masjid ketapang (Novi Anoegrajekti, 2007 :72). Hal ini membuktikan bahwa agama dan budaya islam sangat bertentangan dengan budaya dan kesenian gandrung. Namun perbedaan pandangan tersebut dapat terselesaikan dengan proses penyelarasan pendapat tentang kesenian gandrung. Hal ini demi kemajuan kesenian daerah yang berdampak juga bagi kemajuan suatu daerah.
Pada periode 2002 – 2006, diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap penari gandrung menjadi terkikis dan menghilang. Hal ini disebabkan selain adanya pengakuan terhadap kesenian gandrung, juga merupakan dampak dari pergeseran gandrung dari kesenian rakyat menjadi kesenian elit daerah Banyuwangi. Penari gandrung sendiri mengalami perkembangan dimana sebelum tahun 1996 penari gandrung adalah seniman gandrung yang benar-benar penari gandrung sejak kecil, pada periode 1997 – 2002 penari gandrung banyak didominasi pelajar sekolah menengah atas atau kelompok remaja putri, sedangkan pada periode tahun 2002 – 2006 penari gandrung adalah remaja putri yang banyak yang berpendidikan tinggi seperti dari perguruan tinggi dan anak-anak kecil dari sekolah dasar. Kalaupun ada penari gandrung lainnya adalah penari gandrung hasil dari pendidikan gandrung dalam acara meras gandrung yang diadakan tiap tahun.
Pada pemerintahan Ratna Ani Lestari berlangsung proses multikultural yang menekankan pada identitas lokal using yang berdampingan dengan budaya local daerah lain. Hal tersebut tampak dalam parade kesenian dalam peringatan ulang tahun Banyuwangi, dimana gandrung tampil bersama dengan berbagai macam adat dan budaya daerah lain seperti Bali, Madura dan Surabaya serta Ponorogo. Multikultural mempunyai dampak positif bagi perkembangan gandrung karena gandrung dapat belajar dari kesenian daerah lain dalam hal proses pengembangan dan pemasyarakatan gandrung ( Novi Anoegrajekti, 2007 : 38)
Dari Segi Pariwisata
Tahun 1997-2002 merupakan masa transisi kesenian gandrung, dimana kesenian gandrung mencoba mengubah image masyarakat tentang cerita buruk kesenian gandrung tempo dulu. Di masa ini kesenian gandrung Banyuwangi sangat jarang muncul dipublik. Kalaupun ada itupun berada diluar wilayah Banyuwangi. Namun segi budaya, gandrung memberikan banyak masukan bagi kabupaten Banyuwangi. Sebagai kesenian daerah Banyuwangi, gandrung banyak memperkenalkan budaya Banyuwangi lewat berbagai penampilannya di berbagai daerah misalnya :
Pada awal tahun 1997 atau akhir tahun 1996 tari gandrung tampil dalam acara festival tari tradisional di Finlandia. Sekitar enam penari gandrung dan kelompok penabuh gamelannya tampil dan mendapat sambutan yang meriah dari masyarakat dunia termasuk pengamat seni Eropa.
Pada tahun 1998 tari gandrung mendapat undangan untuk mengisi acara ASP (Apresiasi Seni Pertunjukan) Jakarta untuk berkeliling SMU-SMU se-Jakarta sambil menyebarluaskan tarian gandrung. Dalam kesempatan ini gandrung terob mendapatkan peminat yang cukup banyak dari kalangan siswa SMU-SMU di Jakarta. (Belajar Dari Pertunjukan – Majalah Gong : 2005). Siswa-siswi SMU di wilayah Jakarta sangat tertarik mempelajari gandrung daripada kesenian jawa timuran lainnya. Hal ini tidak terlepas dari unsur keindahan, kedamaian dan keluwesan yang terdapat dalam tarian gandrung.
Pada bulan Juli 1998 Gandrung tampil di festifal tari tradisional Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Lewat festival inilah akhirnya gandrung mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia secara luas yang kemudian dilanjutkan dengan menggelar pertunjukan keliling Indonesia walaupun sebatas kota-kota tertentu seperti Surabaya, Surakarta, Denpasar, Yogyakarta dan Semarang.
Pada tahun 2001 tari gandrung dipentaskan dalam Festival Seni Pertunjukan Indonesia di Jakarta dan mendapatkan sambutan yang baik dari kalangan seniman Indonesia dan dunia yang menghadiri festival tersebut. Hal ini membuktikan kalau tarian gandrung yang sempat dikesampingkan di Banyuwangi mempunyai penggemar yang sangat luas.
Dari penampilan gandrung yang cukup banyak di berbagai daerah tersebut merupakan upaya pengenalan budaya Banyuwangi terhadap masyarakat luar Banyuwangi yang nantinya juga sangat menguntungkan gandrung itu sendiri.
Penampilan gandrung di berbagai daerah dan berbagai acara ternyata dapat memikat masyarakat seni Indonesia dan dunia bahwa Banyuwangi juga memiliki obyek pariwisata budaya yang tersendiri dan patut dibanggakan sebagai salah satu produk pariwisata unggulan di Banyuwangi. Penampilan gandrung diberbagai daerah itu sendiri dapat menunjukkan bahwa kota Banyuwangi memiliki kebudayaan dan kesenian tersendiri yang berbeda dengan daerah lainnya terutama dengan pulau bali.
Periode tahun 2002 – 2006 merupakan masa kebangkitan kesenian gandrung. Gandrung yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Banyuwangi lewat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi banyak tampil diacara kesenian rakyat diberbagai daerah guna mempopulerkan dan mengenalkan gandrung sebagai kesenian asli Banyuwangi. Pada Periode 2002 – 2006 ini gandrung berkali-kali tampil dalam even kesenian daerah tingkat provinsi, nasional bahkan internasional antara lain.
Pada tanggal 23 Juni 2002 gandrung tampil di Pendopo Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya lewat Surabaya Full Music. Dalam kesempatan ini gandrung yang dibawakan oleh grup Labas Wisata (yang berarti perjalanan wisata) dari Banyuwangi mampu membuat semua penonton dan seniman Jawa Timur terhibur. Beberapa penonton yang berasal dari Universitas California, Amerika Serikat sangat menyukai tarian gandrung dan ikut menari menjadi pengibing saat tahap paju gandrung. Hal ini membuktikan kalau tarian gandrung yang sempat dikesampingkan di Banyuwangi mempunyai penggemar yang sangat luas.
Pada bulan agustus tahun 2002 kesenian gandrung tampil di Taman Mini Anjungan Jawa Timur dalam kesenian adat dan tradisi Jawa Timur. Kesenian gandrung merupakan salah satu tari yang paling banyak disukai oleh pengunjung sehingga mulai tahun 2002 sampai sekarang kesenian gandrung selalu ditampilkan dalam acara tahunan tersebut.
Pada tahun 2003 gandrung dibawah asuhan Bapak Zaini tampil di Korea Utara. Pada tanggal 18 Desember 2003 bertepatan dengan hari jadi Banyuwangi, diadakan festifal dan parade kesenian rakyat di alun-alun Banyuwangi. Dalam kesempatan ini ratusan penari gandrung baik yang tua sampai yang muda mengikuti parade ini.
Pada tahun 2005 sanggar Lang-lang Buana menampilan pawai budaya di Istana Negara Jakarta. Sebanyak 25 penari gandrung ditampilkan dalam acara tersebut. Penampilan gandrung di Istana Negara sudah berlangsug selama tiga tahun dari 2005 – 2007 untuk memperingati kemerdekaan Indonesia (Seblang 6, 2007 :26)
Sejak tahun 2005, setiap tanggal 1 September kesenian gandrung mendapat kehormatan untuk tampil dalam acara ulang tahun Jembrana, Bali.
Mulai tahun 2006 sampai tahun 2009 gandrung juga tampil di Osaka Jepang dalam pekan kesenian tradisional se-Asia. Menurut rencana, pergelaran seni Asia yang diadakan tiap tahun dibulan agustus tersebut akan menampilkan tari tardisional dari berbagai Negara di Asia. Untuk Indonesia, gandrung dan beberapa tari tradisional lainnya mendapat giliran tampil tahun 2006 sampai 2009. kesempatan ini dapat dijadikan arena promosi terhadap kesenian gandrung yang nantinya dapat menarik perhatian wisatawan mancanegara khususnya Asia untuk datang mengunjungi Banyuwangi.
Penetapan gandrung sebagai maskot pariwisata Banyuwangi mengakibatkan Banyuwangi sudah mulai dikenal dalam dunia kepariwisataan. Kemajuan bidang pariwisata Banyuwangi ini bahkan sudah dapat dikatakan mampu menyaingi kepariwisataan Nusa Tenggara Timur bahkan pulau Bali. Dengan dikenalnya Banyuwangi dalam dunia Pariwisata maka wisatawan mancanegara yang dulunya hanya mengenal Bali menjadi tertarik untuk singgah di Banyuwangi.
Penetapan gandrung sebagai maskot pariwisata Banyuwangi memang dapat mempopulerkan kesenian gandrung. Penampilan gandrung khususnya gandrung sanggar atau gandrung yang ditampilkan anak muda atau sekolah meningkat pesat, tetapi penampilan gandrung asli atau gandrung terob justru tidak mengalami perubahan. Hal tersebut tampak dari perkembangan organisasi atau kelompok gandrung yang ada di Banyuwangi yang tiap periode mengalami penurunan karena bubar atau menyatu dengan kelompok gandrung lain. Adapun perkembangan jumlah kelompok gandrung sebagai berikut.
Berdasarkan program kerja tahunan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi, sejak tahun 2002 gandrung tampil dalam event bulanan di gelanggang seni dan budaya Blambangan. Selain itu gandrung, khususnya gandrung sanggar selalu tampil dalam acara festival seni pertunjukan di Taman Mini Indonesia Indah yang diselenggarakan satu tahun sekali. Penampilan gandrung diluar negeri juga menjadi salah satu agenda tahunan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi walaupun tidak setiap tahun gandrung tampil di acara luar negeri karena terbentur biaya.
Kesimpulan
Dilihat dari sektor personal, gandrung pada periode 1997 – 2006 mengalami peningkatan. Hal ini dapat terlihat dari tarif yang ditetapkan dan diterima penari gandrung. Dengan tarif yang cukup, seorang penari gandrung dapat mencukupi kebutuhannya disamping dapat mendirikan sanggar tari gandrung. Dilihat dari sektor pendapatan daerah, gandrung masih belum bisa memberikan masukan bagi pemasukan daerah. Hal ini dikarenakan baru pada tahun 2002 gandrung dikenalkan kepada masyarakat luas dan sampai saat ini Pemerintah Daerah Banyuwangi masih dalam tahap mensosialisasikan kesenian gandrung.
Gandrung Banyuwangi membawa dampak positif bagi perkembangan budaya Banyuwangi. Dengan adanya gandrung, maka kesenian lain dapat tercipta. Seperti kesenian tari gandrung sanggar yang merupakan perluasan dari babak jejer dan olah vokal kendang kempul yang merupakan perluasan dari tata cara sinden atau menyanyi gandrung. Gandrung dapat memberikan ciri budaya bagi masyarakat Banyuwangi yang nantinya dapat dijadikan identitas Banyuwangi.
Penetapan gandrung sebagai maskot pariwisata mengakibatkan kegiatan sektor pariwisata di Banyuwangi meningkat. Identitas budaya Banyuwangi lewat gandrung dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi bidang pariwisata. Meskipun peningkatannya belum begitu tampak tetapi dalam beberapa tahun kedepan diyakini sektor pariwisata akan terus meningkat
Penetapan gandrung sebagai maskot Banyuwangi ini membawa dampak besar terutama bagi kesenian gandrung itu sendiri. Adapun dampak penetapan gandrung sebagai maskot Banyuwangi adalah :
Bagi kesenian gandrung ketetapan ini membawa dampak positif yaitu berkembangnya kesenian gandrung secara meluas. Artinya masyarakat Banyuwangi khususnya akan lebih menerima adanya kesenian gandrung sehingga memasyarakatkan gandrung di hati masyarakat Banyuwangi menjadi mudah. Ketetapan Bupati ini merubah pandangan minor tentang gandrung sehingga kesenian gandrung tidak lagi menjadi kesenian rakyat malam dan terkesan jalanan tetapi menjadi kesenian rakyat yang dijadikan materi sekolah lewat program ekstrakurikulernya. Bagi warga Banyuwangi ketetapan ini memberikan identitas baru bagi kota Banyuwangi yang merupakan ciri khas yang membedakan Banyuwangi dengan kota lainnya di Indonesia.
Sebagai kesenian asli Banyuwangi, sangat disayangkan apabila kesenian gandrung tenggelam bersama modernisasi jaman. Untuk itulah kini saatnya generasi muda untuk mengembangkan kesenian gandrung agar dapat dikenal, diterima dan diminati oleh khalayak umum.
Jalan pertama yang harus dilakukan oleh warga Banyuwangi adalah mengembangkan dan memberi jalan bagi gandrung untuk berkembang. Kesenian gandrung sekarang sudah mengarah pada dunia pendidikan yang harus dipupuk demi membangun jati diri daerah dan keanekaragaman budaya daerah. Selain itu hendaknya warga Banyuwangi menyadari bahwa kekayaan budaya daerah sangat perlu dikembangkan tanpa melihat perbedaan sehingga kekayaan kebudayaan nasional akan semakin bertambah.
0 komentar: on "Melihat Kesenian Gandrung Banyuwangi Dari Berbagai Aspek"
Posting Komentar