Gusdur Pada Perayaan Tionghoa |
Banyak yang berubah semenjak larangan berbudaya Tionghoa dicabut pemerintah RI. Perayaan Imlek kini sama meriahnya dengan Idul Fitri dan Natal. Mal di kota-kota besar memerah, penuh dengan ornamen-ornamen Tionghoa. Lampion, kain merah, aksara Tiongkok tertampang dengan jelas. Acara-acara televisi meriah dengan kuis-kuis dan pertunjukan berbau Tionghoa. Mulai dari ‘kuis angpao’, tips masak makanan khas Tiongkok, sampai kajian serius sejarah Tionghoa. Kursus bahasa Mandarin laku keras. Surat kabar berbahasa Mandarin menjamur. Sungguh menarik, mencermati bahwa walaupun selama 32 tahun penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa dilarang, ternyata masih banyak angkatan senior yang fasih melafalkannya.
Kuatnya Pengaruh Budaya Tionghoa
Bagaikan naga bangun dari tidurnya, budaya yang 32 tahun hilang bangkit dengan cepat. Menandakan bahwa cultural genocide yang dilakukan pemerintah Orde Baru tidak dapat menghilangkan akar budaya yang melekat pada masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Mely G. Tan, sosiolog senior yang ahli dalam sinologi, membenarkan bahwa etnis Tionghoa dimanapun mereka berada sangat lekat dengan kebudayaan Tionghoa. Ini tak dapat dipisahkan dari karakter mereka sebagai bangsa perantau yang mempunyai tradisi menghormati negeri leluhur. Tak diragukan lagi, Tiongkok adalah sebuah bangsa dengan kebudayaan yang sangat kuat. Budaya ini dipelihara turun-temurun oleh rakyatnya selama berabad-abad. Walaupun keturunan rakyat negeri tirai bambu ini terserak ke seluruh penjuru dunia dan telah menjadi warga negara di tempat mereka tinggal, budaya Tionghoa tetap lekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan mudah dapat ditemui Tiongkoktown (pecinan) yang khas di seluruh Asia Tenggara, Amerika, Eropa, bahkan Afrika Selatan.
Barongsai adalah salah satu Budaya Masyarakat Tionghoa |
Identitas Budaya vs Identitas Politik
Pusaran kepentingan politiklah yang lantas kerap melupakan hal ini. Melupakan sejarah asimilasi yang terserap berabad-abad lamanya. Karena alasan politik pula, etnis Tionghoa dibedakan dengan etnis lainnya di Indonesia. Dibuat perbedaan, diciptakan pemisahaan. Walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia mempelajari politik tipuan ‘devide et impera‘ Belanda, namun tetap saja sejarah itu berpengaruh sampai saat ini. Perang, bentrokan, kerusuhan berbau SARA mudah sekali merebak di Indonesia. Sulit untuk mengakui perbedaan itu sebagai suatu kekuatan.
Kecurigaan juga muncul saat budaya Tionghoa dengan bebas dipraktekkan lagi sekarang. Bahkan tak sedikit kalangan etnis Tionghoa sendiri khawatir bahwa kebebasan berbudaya ini akan kembali menciptakan ekslusivisme yang mengundang rasa tidak simpatik dari kelompok lain. Yang lain mengkhawatirkan pergeseran identitas etnis Tionghoa. Apakah identitas ini akan lebih ke’indonesiaan’nya atau ke’tiongkokan’nya?
Dalam hal ini Mely menegaskan bahwa kecenderungan berbudaya tidak identik dengan kecenderungan politik. “Kita harus hati-hati memilah identitas budaya dan identitas politik,” katanya. “Belum tentu dekat secara budaya otomatis dekat secara politik, sehingga mempunyai identitas kebudayaan Tionghoa bukan berarti mempunyai identitas politik Tiongkok.”
Hal ini bisa dilihat dari etnis Tionghoa di seluruh Asia Tenggara. Misalnya Tionghoa di Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Mereka memang etnis Tionghoa tapi sudah tidak ingat lagi dengan asal-usulnya. Dengan tegas mereka mengakui bahwa mereka adalah warga negara Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Ikut dalam membangun negaranya, pergi berperang demi negaranya dan berpartisipasi secara politik di negaranya.
Kwik Kian Gie adalah contoh Politikus asal Tionghoa |
Kini kebebasan berbudaya Tionghoa dan perbaikan sistem hukum dan HAM membawa angin segar pada etnis Tionghoa. Budaya Tionghoa tidak lagi dianggap budaya asing, bahkan diakui sebagai salah satu budaya nasional Indonesia. Agama Khonghucu yang identik dengan Tiongkok diakui sebagai salah satu agama resmi. Tokoh-tokoh etnis Tionghoa mulai berani mencalonkan diri di bursa politik Indonesia. Dalam diri mereka nyata sudah, walaupun berbudaya Tionghoa tapi nasionalisme mereka adalah Indonesia.
Inilah yang ditekankan oleh Mely bahwa masyarakat harus mengerti betul konsep ini. Agar semua lapisan masyarakat mengerti konsep ini memang akan memakan waktu dan melalui proses panjang. Bagaimana masyarakat Indonesia akan bergeser dari identitas kesukuan atau identitas sebagai etnis menjadi identitas sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia. Cara untuk mempercepat pemahaman ini adalah melalui kesetaraan pendidikan.
Harapan di Kalangan Muda
Sebuah survey di televisi swasta menunjukkan hal yang menarik. Bahwa sekelompok anak muda Tionghoa menyatakan bersedia menjadi pegawai negeri sipil sebanyak 30 %, 15 % bersedia menjadi pegawai negeri swasta sedangkan 45 % tetap ingin berwirausaha. Bila kita menilik lebih jauh, anak-anak muda ini minimum berpendidikan sarjana. Bagi sebagian kalangan muda etnis Tionghoa, menjadi tentara atau polisi bukanlah sebuah momok menakutkan lagi. Ikut serta berpolitik praktis yang untuk orang tua mereka adalah hal haram kini banyak diminati pemuda-pemudi etnis Tionghoa. Bagi mereka untuk menjadi bagian yang diterima secara utuh di Indonesia, etnis Tionghoa harus terjun ke berbagai bidang.
Hal ini semakin menarik bila kita melihat hasil penelitian dari Thung Ju Lan -peneliti sekaligus dosen di Universitas Indonesia- tentang pergeseran identitas pengusaha muda Tionghoa dibandingkan dengan generasi orang tuanya. Kaum muda Tionghoa saat ini cenderung memandang dirinya sebagai bagian dari masyarakat internasional. Bukan menilai seseorang berdasarkan etnis atau perbedaan lainnya. Kesimpulan yang sama juga diperoleh Mely dalam pengamatannya bahwa kaum muda yang berpendidikan dan terbiasa bergaul dengan etnis yang berbeda di luar negeri sudah menjadi global dan berorientasi internasional. Mereka kembali ke Indonesia dan tidak canggung bergaul dengan etnis manapun. Mereka makin dapat menerima perbedaan dan pluralisme, serta cenderung bisa menghormati budaya yang berbeda-beda.
Proses ini menurut Mely makin mengkristal di kalangan anak muda baik dari etnis Tionghoa maupun etnis lainnya. “Masyarakat perlu mendukung proses itu agar proses pembentukan kesadaran baru menyangkut identitas diri baru mereka semakin nyata. Itu penting, karena kalangan muda ini sekarang lebih suka menyebut dirinya orang Indonesia tanpa disertai embel-embel apa pun,” ungkap Mely dalam sebuah seminar internasional tentang “Orang Indonesia-Tionghoa: Manusia dan Kebudayaannya” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Mely juga mengungkapkan bahwa kita tidak perlu khawatir bahwa rasa nasionalisme kalangan muda akan berkurang di tengah globalisasi. Sebuah contoh menarik yang terjadi di Uni Eropa. Setelah negara-negara Eropa itu menerima berbagai kemudahan secara ekonomis dari bersatunya Eropa, ternyata identitas kebangsaan mereka tidak hilang. Mereka tetap merasa sebagai bangsa dari negaranya masing-masing. Jadi tidak perlu terlalu mengkhawatirkan reaksi anak muda yang lebih mudah menerima dampak globalisasi, karena sisi baik dari masyarakat global adalah diterimanya pluralisme dan multikulturalisme sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa-bangsa.
Proses ini, lanjut Mely adalah sebuah proses yang bisa dicapai hanya dengan pendidikan yang setara. “Pendidikan multikulturalisme harus dimulai sejak dini. Anak-anak harus sudah diajari untuk menerima perbedaan tanpa merasa terancam, misalnya dengan menyekolahkan mereka di sekolah yang multi etnis dan multi agama.”
Kiranya segera nyata, apa yang disebutkan dalam Sumpah Pemuda: Satu Bangsa, Satu Bahasa, Satu Tanah Air. Indonesia. Sehingga Gillian-Gillian lain akan bermunculan, bebas mengekspresikan budayanya tanpa rasa janggal, bahwa dirinya tetaplah orang Indonesia.
0 komentar: on "Mengenal Masyarakat Etnis Tionghoa Di Indonesia"
Posting Komentar